Setelah hingar-bingar keramaian lebaran
Berkunjung kesana-kemari untuk saling bermaafan
Dengan pakaian baru yang melekat
Berfoto seru bersama sahabat dan kerabat dekat
Lalu kita kembali pada lamunan kesendirian
Termenung hanyut dalam bermacam fikiran
Sesekali kita melihat timeline, medsos, galeri foto, tutup buka lagi, tutup lagi, semakin hanyut dalam lamunan
Mencari tau kenapa
Ternyata hati kita masih usang berkarat
Kita terlalu berusaha menutupi
Akhirnya menyadari beberapa hal memang tak perlu termaafkan walau lembar hijriah telah berganti.
Blog Coretan Prasetio Budi
Senin, 10 Juni 2019
Kamis, 17 Januari 2019
Senja Itu
Di kala senja itu, disaat sang mentari secara perlahan-lahan mulai merebahkan diri di batas cakrawala dan kita pernah memaknai arti dari kabahagiaan juga arti kesetiaan serta arti kehilangan itu, iya disini di ujung senjan ini.
Senja itu, semua rasa teraduk menjadi padu dan menampilkan akan kesunyian dan separuh hati yang tertinggal entah dimana.
Ya senja itu, di saat cahaya cemerlang kemerahan menghiasi angkasa raya engkau masih berdiri tegak di penghujung senja dan kepala tengadah sembari membiarkan setiap helai rambutmu di belai oleh angin petang yang lembut.
Waktu mungkin kerap kali mampu memudarkan luka serta musim demi musim yang telah berlalu tak juga lelah buat kita mengakui bahwa cinta dalam genggaman hanyalah semu adanya dan tak berarti apa-apa.
Duhai wanita di penghujung senja, sesungguhnya masa lalu yang kita sesali itu hadir bagian dari rencana masa depan yang tak bisa terjadi dan tak akan terlupa sampai kapanpun.
Kenangan itu dimana kita bangun bersama yang kita sematkan secara diam-diam pada kilau mentari yang cahayanya secara perlaham mulai meredup.
Sementara, ketika malam kian erat memeluk sang senja dan berusaha serta banyak harapan agar tak tercecer satu-satu menjadi serpihan-serpihan kecil di sepanjang perjalanan, tak tergapai, tak tercapai.
Senja itu, semua rasa teraduk menjadi padu dan menampilkan akan kesunyian dan separuh hati yang tertinggal entah dimana.
Ya senja itu, di saat cahaya cemerlang kemerahan menghiasi angkasa raya engkau masih berdiri tegak di penghujung senja dan kepala tengadah sembari membiarkan setiap helai rambutmu di belai oleh angin petang yang lembut.
Waktu mungkin kerap kali mampu memudarkan luka serta musim demi musim yang telah berlalu tak juga lelah buat kita mengakui bahwa cinta dalam genggaman hanyalah semu adanya dan tak berarti apa-apa.
Duhai wanita di penghujung senja, sesungguhnya masa lalu yang kita sesali itu hadir bagian dari rencana masa depan yang tak bisa terjadi dan tak akan terlupa sampai kapanpun.
Kenangan itu dimana kita bangun bersama yang kita sematkan secara diam-diam pada kilau mentari yang cahayanya secara perlaham mulai meredup.
Sementara, ketika malam kian erat memeluk sang senja dan berusaha serta banyak harapan agar tak tercecer satu-satu menjadi serpihan-serpihan kecil di sepanjang perjalanan, tak tergapai, tak tercapai.
Rabu, 16 Januari 2019
Jika terlalu Berharap Pada Hal Yang Semu
Dan menantipun ada masanya jemu,
Sampai pada titik rindu yang tidak butuh temu,
Bukan berarti tidak lagi membutuhkan kehadiranmu,
Tapi, mungkin sudah seharusnya kembali meluruskan niat pada Rabbku,
Karena sepertinya aku salah, selama ini terlalu berharap pada hal yang semu.
Sampai pada titik rindu yang tidak butuh temu,
Bukan berarti tidak lagi membutuhkan kehadiranmu,
Tapi, mungkin sudah seharusnya kembali meluruskan niat pada Rabbku,
Karena sepertinya aku salah, selama ini terlalu berharap pada hal yang semu.
Minggu, 06 Januari 2019
SOSOK SEMPURNA
'SOSOK SEMPURNA'
‘’Sosok wanita tangguh
paruh baya dengan ikhlas menggerakkan seluruh tenaganya tanpa belas kasih.
Kasih sayangnya tanpa batas seperti butiran pasir di dasar samudera. Tak
terhitung berapa jumlahnya. Hatinya setegar batu karang yang terhempas jutaan
kali oleh derasnya ombak di lautan’’.
Siapakah sosok sempurna
tersebut? Ya, dialah ibu. Wanita yang telah mengandung dan melahirkan kita
dengan seluruh tenaga yang dimilikinya.
Berjuang dengan mempertaruhkan nyawa. Menjaga kita agar tetap hidup
dalam kandungannya selama kurang lebih sembilan bulan lamanya. Dari rahim
ibulah, kita mengenal dunia. Melihat betapa silaunya cahaya sinar matahari di
luar sana. Melihat keindahan alam semesta bukti dari kuasa Sang Pencipta.
Apakah perjuangannya berhenti
sampai di situ? Tentu tidak. Saat kita terlahir di dunia, ibu menjadi orang
yang selalu siap menjaga kita. Bahkan di titik terlemah kita. Saat kita kecil,
kita hanya dapat merangkak. Berjalan kita goyah. Berlari hanya melukai diri.
Namun, ibu dengan segenap kesabarannya membangunkan kita yang terjatuh saat
belajar berdiri.
Dengan penuh hati-hati,
ibu membantu kita mengucap kata demi kata. Mengeja setiap deretan kata yang
terlontar dari mulutnya untuk kita ikuti. Saat lidah kita tak mampu menjangkau
kata tersebut, ibu hanya tersenyum dan mengulangnya dari awal. Ibu memberi
semangat saat kita mulai menyerah. Tak jemu-jemu memberikan nasihat dengan
penuh cinta dan semangat yang menguatkan.
Saat menginjak bangku
sekolah, ibu dengan sigap menyiapkan segala perlengkapan kita. Bangun pagi demi
memasak bekal untuk dibawa ke sekolah. Menyetrika seragam dan menyiapkan kaus
kaki kita. Mengantarkan dan menjemput
kita di sekolah. Memastikan bahwa kita selamat sampai rumah.
Baginya, kebahagiaan
anak adalah segalanya. Sosok yang selalu disebut dalam setiap doanya adalah
anaknya. Ibu berjuang demi memberikan yang terbaik untuk anaknya. Bekerja siang
malam agar anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Mencari
sesuap nasi agar anaknya tumbuh dengan sehat. Namun, sadar atau tidak sadar,
perlakuan kita terkadang melukai perasaannya. Hatinya mungkin menangis, namun
tidak pernah ia berniat untuk menunjukkan itu semua di depan anaknya.
Apa yang kalian rasakan
saat melihat helai per helai rambut ibu kita memutih setiap hari? Wajah yang
semakin keriput? Kulit yang semakin kusut? Adakah kalian mulai jijik dan ingin
menjauhinya? Seburuk apapun kondisi kita, ibu selalu menerima. Dengan senang
hati merangkul kita yang terluka karena disakiti oleh orang lain. Memaafkan segala
perkataan kita yang menyakitkan.
Ibu, sosoknya kian
melekat dalam hati dan tak akan terganti. Senyum yang tersungging bagaikan air
di gurun pasir saat musim kemarau berkepanjangan. Matanya adalah pancaran sinar
yang menerangkan setiap langkah kita. Sosoknya seakan menjadi lilin yang akan
terus menyala dalam hidup kita.
Tidak ada yang dapat
mencintai kita semulia ibu mencintai seorang anaknya. Ibu, bukan sekadar wanita
yang layak dikagumi. Namun, seorang wanita yang bisa mengagumi kita apa adanya.
Ibu, sosok yang paling dekat dengan kita, sebab letaknya ada di dalam hati
kita.
Ibu, terima kasih atas
segala waktu yang terlewati. Terima kasih atas segala keringat yang bercucuran,
saat kau rawat tubuh ini. Ibu, aku mencintaimu, dari dulu, kini, dan nanti.
Langganan:
Postingan (Atom)